Selasa, 14 Juni 2011

Resume bab 5 propaganda



BAB 5. PROPAGANDA POLITIK di INDONESIA
A.    Propaganda Era Soeharto
Di era Orba propaganda politik yang pernah dilakukan presiden Soeharto antara lain;
1.      Propaganda menampilkan citra baik kepribadian pemimpin
Tanpa bisa dipungkiri, perekonomian Indonesia pernah terpuruk pada tahun 60-an. Kondisi ini diperparah dengan kompetisi politik antarparpol dalam kekuasaan.tak terkecuali konflik antara komponen di militer yang tercermin dalam usaha pembunuhan para jenderal yang kemudian dikenal dengan pahlawan revolusi. Pertikaian antara parpol tersebut membawa suasana kontradiktif antara mereka yang tergabung dalam kelompok ”agamis”, “nasionalis”, dan mereka yang partai komunis. Konflik ini mencapai puncaknya pada peristiwa G 30/S/PKI.
Kepribadian pemimpin menjadi tolak ukur apakah seorang raja tersebut layak memimpin atau tidak. Soeharto yang mulai membangun basis kekuasaannya berusaha mempraktekkan gaya kekuasaan seperti itu. Era Soeharto ada “Bapak Pembangunan”. Propaganda ini ingin mencitrakan bahwa dia adalah pelopor, penggerak, penentu pembangunan yang sedang menjadi harapan masyarakat. (Hanya) melalui tangan “Bapak Pembangunan”-lah, kemajuan akan dicapai. Citra baik ini dilakukan terus menerus.
2.      Propaganda Pembangunan Ekonomi
Agar tidak mengulang era orla, Orba menjadikan ekonomi sebgai panglima. Pembangunan nasional yang dibanggakan pun dibangun di atas fondasi pembangunan ekonomi yang diharapkan bisa mengurangi angka pengangguran, kemiskinan, menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran. Namun, pembangunan ekonomi yang diciptakan dan dibanggakan tidak diimbangi oleh moralitas para pemimpinnya. Akibatnya, kebanggaan tersebut mencapai titik kulminasi tertinggi pada pertengahan tahun 1997 dengan timbulnya krisis ekonomi yang berkepanjangan. KKN pun merebak dimana-mana setelah era reformasi mengungkapkan kebobrokan ekonomi peninggalan orba.
3.      Propaganda dengan organisasi berbasis militer
Soeharto berkuasa penuh selama lebih dari tiga dasawarsa karena peran militer. Militer, telah diciptakan sebagai mesin yang mampu melindungi kebijakannya. Bahkan Soehato kemudian menjadi panglima tertinggi di tubuh militer. Tidak itu saja, peran ini diwenangkan juga ke tingkat pemerintahan di bawahnya dalam mencampuri urusan kebijakan daerah. Sebuah perusahaan, kalau sudah berlindung di balik kekuatan militer atau ada pihak militer yang melindungi, orang lain tidak akan berani lagi untuk mempermasalahkan kebobrokan yang dilakukan. Belum lagi militer ikut berbisnis dengan alasan “kesejahteraan prajurit”.
Tak bisa dipungkiri lagi, untuk mengabsahkan kekuasaannya, militer kadang menggunakan kekerasan, seperti semprotan gas air mata, penculikan sampai pembunuhan.
4.      Propaganda sakralisasi Pancasila dan UUD 1945
Orba dalam awal pemerintahannya menganggap era sebelumnya penuh pengingkaran terhadap Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu tekadnya adalah melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara  murni dan konsekuen. Wujud pelaksaan tersebutt kemudian tertuang dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Tak tanggung-tanggung program tersebut tertuang dalam TAP MPR. Program penghayatan (dengan penataran P4) ini wajib diikuti oleh instansi di seluruh Indonesia. Dalam beberapa hal, pemerintahlah yang justru tidak mencerminkan jiwa Pancasila. Misalnya sila keadilan.
5.      Propaganda penertiban politik dan asas tunggal
Dalam dunia politik pun dilakukan perubahan yang sangat mendasar, salah satunya bisa dilihat pada partai politik. Pada tahun 1970, jauh sebelum pemilu tahun 1971 sudah direncanakan pengelompokan parta-partai politik. Dalam pertemuannya dengan pimpinan parpol, 27 februari 1970, Soeharto mengemukakan sarannya untuk mengelompokkan parpol tersebut. Tujuannya agar memudahkan kampanye pemilu, dan tak bermaksud melenyapkan pemilu. Akhirnya, terjadi pengelompokan tiga partai yakni spirituil, nasionalis, dan golongan karya.
6.      Propaganda dengan politisasi agama
Peringatan akan pemerintah menghindari tindakan politisasi agama, yakni menjadikan agama sebagai alat justifikasi politik. Justifikasi dalam hal ini bisa dipahami sebagai tindakan menjadikan agama sebagai faktor untuk mengabsahkan sesuatu diluar agama. Kalau hal demikian terus dilakukan, bukan tidak mustahil agama akan kehilangan substansinya, bahkan digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk tujuan pragmatis-politis. Ada beberap implikasi ketika agama mengalami politisasi, yaitu; pertama, Politisasi itu akan menjadikan suatu keputusan yang berlindung dibalik jubah agama mengalami “sakralisasi”. Kedua, agama akan kehilangan nilai moral, etika, dan spiritualnya sebagai elemen dasar yang harus dipuyai agama. Sehingga, agama menjadi sebuah “instrumen” pemerintah atau pemeluknya sendiri.

B.     Propaganda Era Habibie
Habibie menduduki jabatan presiden setelah Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Propaganda Habibie yang paling penting dicermati adalah seruannya tentang demokratisasi. Berikut ini diuraikan secara lebih spesifik tentang kasus per kasus propaganda yang dilakukan Habibie:
1.      Propaganda moral altruisme bangsa
Dalam kajian filasfat moral-politik, akar altruisme bisa ditelusuri dari kata latin yaitu alter. Menurut kamus, alter berarti ‘lain’. Dengan demikian, altruisme adalah pandangan dan sikap hidup yang menaruh perhatian pada kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan orang lain (Mangunhardjabana, 1997). Orang altruistis akan lebih mementingkan kepentingan orang lain sebagai bagian haknya yang dianggap lebih baik daripada mementingkan dirinya hanya sekedar gengsi.
Dengan demikian, penentuan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Timtim adalah pelaksanaan moral altruisme dalam segala bentuknya. Penegakan moral altruisme sehubungan denan kasus Timtim yang dilaksanakan Indonesia, sebenarnya mempunyai beberapa implikasi. Pertama, kasus itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bertanggung jawab. Kedua, penegakan moral altruisme di satu sisi yang berimplikasi diperolehnya kemerdekaan Timtim semakin menunjukkan bahwa diplomasi Indonesia di dunia internasional masih lemah. Ketiga, bagi presiden Habibie kasus penegakan moral altruisme ini akan menjadi keunggulan komparatif dirinya di masa datang, dengan menafikan kesan buruk yang selama ini melekat pada dirinya.
2.      Propaganda pseudo demokrasi
Perkembangan kehidupan demokrasi di negara kita (terutama era Habibie) boleh jadi tidak mengalami kemajuan yang berarti, tetapi justru mengalami kemunduran (set back). Dalam beberapa hal, bukan praktik demokrasi yang sedang diperjuangkan masyarakat, namun liberalisme. Dalam demokrasi ada kebebasan, namun kebebasan itu masih dalam bingkai kepentingan orang banyak. Ini artinya, jika suara mayoritas menang demi kepentingan rakyat banyak, kelompok minoritas harus menerima kenyataan yag terjadi. Dalam hal ini, demokrasi menuntut untuk rela berkorban demi kepentingan yang lebih besar.
Maka, demokrasi dalam dataran pelaksanaannya adalah sebuah iklim yang berusaha mencari yang terbaik untuk kebaikan semua pihaka, bukan lebih baik tetapi hanya untuk golongan tertentu di masyarakat. Sedangkan liberalisme jika diaktualisasikan akan sebaliknya, ia akan mencari sesuatu hal yang lebih dan paling baik, tetapi menurut atau untuk tujuan diri dan golongannya. Apalgi jika liberalisme yang diperjuangkan diatasnamakan demokrasi. Demokrasi hanya akan menjadi kedok untuk mencari polularitas dan dukungan semua pihak, tetapi tujuan utamanya adalah liberalisme untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Inilah pseudo demokrasi. Degan demikian, pseudo demokrasi nyaris menjadi fenomena propaganda era Habibie.

C.    Propaganda Era Abdurrahman Wahid
Duet Gus Dur-Megawati  dipilih setelah dilaksanakan SU MPR bulan Okrober 1999. Propaganda era Gus Dur sebenarnya akumulasi pemikiran dan orientasi politiknya di masa lalu. Tingkah lakunya di samping memunculkan silang pendapat telah memancing lembaga tinggi lain untuk “berdaya”. Berikut dinamika propaganda Gus Dur;
1.      Menggunakan language politik untuk propaganda
Saat ini, kondisi masyarakat baru mencapai titik kulminasi “emosi”. Kondisi demikian akan mudah memunculkan “perang fisik” karena manifestasi kejengkelan, ketidakpuasan, ingin segala persoalan diselesaikan dengan segera. Oleh karena itu, tak ada pilihan lain bahwa “musuh-musuh” politik itu harus dilawan dengan politik bahasa sebagai kekuatan simbolik. Maka dengan entengnya Gus Dur menanggapi dengan ringan berbagai kritik dan sindiran yang ditujukan kepadanya, ‘Gitu aja kok repot”. Politik bahasa Gus Dur dalam sebuah negara plural seperti Indonesia mengandung kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah ia bisa memperkuat posisi legitimasinya. Namun begitu, sikap cuek dan pernyataan keontroversial tersebut menyimpan sebuah “bara api” yang setiap saat bisa meledak menjadi kerusuhan.
2.      Mempropagandakan Fiqh politik
Lebih khusus lagi, perlu mengetahui fiqh siasah (fiqh politik) presiden ke-4 Indonesia tersebutt. Fiqh siasah Gus Dur yang pertama, dar’u al mafaasid muqadam ‘ala jalb almashaalih (mencegah kerusakan harus didahulukan daripada mencari kebaikan) ( Wahid, 1997). Kedua, ma layatimmul wajibu illa bihi fahua wajibun (sesuatu yang menyempurnakan kewajiban berstatus wajib pula) (Wahid, 1997).
Pemikiran Gus Dur seperti itu meskipun positif di masa datang namun ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan: Pertama, kalau Gus Dur tetap ngotot pada prinsipnya, suatu saat nanti ia akan berjalan sendiri dengan ide-idenya. Kedua, Gus Dur harus mengurangi self confidence yang berlebihan. Agar tak dikucilkan di depan publik, ia sedikit mengalah untuk memperhatikan suara lain (misalnya DPR atau MPR).
3.      Kesejahteraan dan demokrasi sama-sama penting
Dalam setiap pertemuan dengan kepala pemerintahan atau kepala negara lain di luar negeri beberapa waktu lalu, presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selalu mengatakan, “proses demokratisasi memerlukan kesejahteraan”. Dan tentunya, kesejahteraan ini membutuhkan lapangan kerja dan lapangan kerja akan tercipta jika ada investasi baru, demikian penegasan Gus Dur. Pendapat demikian sangat relevan dengan ungkapan, “memperjuangkan demokrasi tidak akan tercapai manakala perut sedang kosong”.
Oleh karena itu mendudukkan keduanya sejajar dan sebagai variabel saling mempengaruhi adalah pilihan yang bijak. Maka Gus Dur tidak gegabah dengan mengatakan bahwa kesejahteraan menjadi faktor terbentuknya demokrasi, tetapi demokrasi memerlukan kesejahteraan.
4.      Propaganda Tap MPRS no. XXV/MPRS/1966
Meskipun Gus Dur tetap setuju untuk mencabut Tap MPRS no. XXV/MPRS/1966 yang berisi larangan ajaran komunis/marxisme-leninisme di Indonesia, tanggapan kontra pun bermunculan di tengah masyarakat. Salah satu alasan kenapa Tap MPRS itu perlu dicabut adalah karena paham komunisme sudah banyak yang menelan “kurban” manusia tak terbilang.
Maka usulan dicabutnya Tap MPRS tersebut adalah konsekuensi dari demokrasi. Dalam demokrasi ada penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM). Apapun bentuknya, kalau sudah menyangkut HAM dengan konsekuensi apa pun harus ditegakkan. Ini memang “bayaran mahal” pelaksanaan demokrasi.
5.      Propaganda negara tanpa “tentara”
Dasar pemikirannya adalah hanya militerlah yang mempunyai daya paksa dan kekuatan tempur yang handal. Dalam militer juga diakui ada hierarki kekuasaan serta disiplin tinggi yang diterapkan sehingga dengan cepat dan mudah mengatasi semua persolan negara. Ini pulalah yang mendasari kenapa tentara atau militer menjadi tulang punggung dalam mengatasi stabilitas yang rentan tersebutt.
Tanpa mengecilkan peran militer, pemerintahan yang dikelola tentara bisanya tidak membuahkan iklim demokratisasi yang baik. Dengan kata lain pula, suasana egaliter, tanpa rasa takut (freedom from fear) sangat sulit diwujudkan dalam pemerintahan militer.
Inilah sebenarnya alasan rasional untuk memahami segala sepak terjang presiden Gus Dur dengan mengangkat supremasi sipil atau militer di Indonesia.
6.      Propaganda politik memaafkan
Dalam pertemuan antar presiden Habibie dengan beberapa pimpinan parpol, ada satu usulan yang sangat menarik dari Gus Dur agar penyelesaian kasus Soeharto diselesaikan secara Islam (fiqh). Ketentuan hukum Islam yang dikemukakan ketua umum PBNU itu adalah dengan mengampuni Soeharto sambil menyerahkan sejumlah uang tertentu kepada komisi independen dan uang tersebut digunakan untuk kepentingan rakyat. Toh menurutnya, kalaupun akan diusut secara hukum formal sulit dibuktikan.
Namun begitu, tanpa ada syak wasangka untuk konteks Soeharto, keuntungan yang terasa jika diterapkan Fiqh Islam adalah mengahindari politik “balas dendam”. Sebab, tidak mungkin keluaraga Soeharto akan tingal diam melihat bapaknya diadili sebegitu rupa, sama persis ketika Soeharto memperlakukan tidak adil Soekarno.
7.      Propaganda demokrasi dengan teologi inklusifisme
Saat ini, satu-satu pembaruan pemikiran yang terus perlu dilakukan adalah pendapat akan pentingnya kerukunan umat beragama sebagai pilar untuk membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Salah satu dasar pemikiran perlunya diwujudkan teologi ini adalah bangsa Indonesia masih menyimpan pluralisme yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan friksi dan konflik horizontal. Oleh karena itu, satu hal pokok yang harus dilakukan adalah pembaruan pemikiran akan pentingnya sikap hidup terbuka, toleran, inklusif sebagai salah satu syarat awal pembentukan kesatuan masyarakat.
Teologi inklusifisme juga disebut “teologi kerukunan beragama”, baik dalam satu agama atau agama lain. Thema sentralnya adalah pengembangan paham dan kehidupan keagamaan yang inklusif, toleran, dan respek terhadap pluralisme keagamaan. Sehingga berbagai penganut aliran keagamaan atau agama-agama dapat hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar